MATA terasa nyeri, merah, disertai lapang pandang yang menyempit, segera ke dokter. Gejala tersebut bisa jadi merupakan penyakit mata yang dapat berakhir kebutaan.Walaupun belum sepopuler katarak, glaukoma tidak bisa dianggap enteng. Bukan hanya di Indonesia, di seluruh dunia pun glaukoma menjadi ancaman kebutaan nomor dua setelah katarak.
Menurut data RSCM 2007, ditemukan rata-rata 351 kasus baru. Ironisnya, sebanyak 50 persen pasien datang dalam keadaan buta kedua-duanya. Kondisi tersebut memprihatinkan, kerusakan tidak bisa lagi diperbaiki.
Glaukoma merupakan penyakit pada saraf penglihatan yang menyebabkan luas lapang pandangan menyempit dan dapat berakhir kebutaan. Glaukoma dapat mengenai satu atau dua mata dan dapat terjadi pada segala umur.Pada kasus ini serangan pertama adalah dalam hal lapang pandang yang kian menyempit.
Sebagai contoh, saat menutup salah satu mata dengan tangan, kemudian berfokus pada satu benda yang berada tepat lurus di depan. Kendati fokusnya pada benda tersebut, mata yang normal masih bisa melihat benda-benda lain di samping kanan-kirinya. Pada pasien glaukoma hanya bisa melihat benda-benda yang terletak pada arah fokusnya.
“Samping kanan-kirinya terlihat gelap,” ujar Spesialis Mata dari Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Prof Dr Diany Yogiantoro Soebadi.
Tekanan bola mata yang tinggi merupakan faktor utama. Faktor ini paling sering karena hambatan pengeluaran cairan bola mata (humour aquous). Dalam bola mata bagian depan terdapat cairan jernih. Cairan tersebut bukan air mata tapi akuous humor. Cairan ini dengan teratur mengalir dari tempat pembentukannya ke saluran keluarnya.
Tekanan bola mata normal antara 10 mmHg sampai 20 mmHg. Apabila tekanan bola mata tinggi di atas 21, akan menekan saraf mata (nerves II). Akhirnya, membuat kerusakan pada saraf mata II. Kerusakan tersebut tidak bisa dikembalikan lagi. Hal ini karena kematian sistem saraf akan terbentuk bintik buta.
Glaukoma disebabkan adanya kerusakan pada serabut saraf mata yang menyebabkan blindspot (daerah tidak melihat atau titik buta). Pada awalnya, bintik buta kecil tapi berlangsungnya penyakitnya lambat dan lama. Semakin lama semakin lebar sehingga melihat seperti mengintip (tunnel vision). Sampai akhirnya, penderita mengalami kebutaan.
Umumnya, penderita baru menyadari blindspot saat kerusakan serabut saraf sudah parah.” Bila seluruh serabut saraf rusak, akan terjadi kebutaan total,” imbuh Panitia Pengarah World Glaukoma Day yang jatuh pada 6 Maret nanti.
Terjadinya glaukoma, apabila tekanan di atas tekanan bola normal, misalkan di atas 20mmHG belum tentu dikatakan glaukoma karena banyak hal lain yang menyertainya.
“Untuk mendiagnosis penyakit ini masih dilihat faktor risiko lainnya seperti umur di atas 40 tahun, sulit melihat dekat, mempunyai keluarga menderita glaukoma dan mempunyai riwayat sebelumnya,” kata Ketua Divisi Glaukoma dari RSCM/ FKUI DR Dr Ikke Sumantri.
Keluhan gejala klinis glaukoma dibedakan menjadi glaukoma akut dan glaukoma kronis. Untuk glaukoma akut ditandai dengan mata merah, sakit, kepala pusing, seperti melihat pelangi di sekitar sumber cahaya (lampu), muntah-muntah. Biasanya gampang dideteksi. Berbeda dengan glaukoma akut, glaukoma kronis tidak disertai keluhan, hanya kadang-kadang sakit kepala.
“Gejala-gejala tersebut sering kali tidak disadari penderita. Akibatnya, penderita datang dalam keadaan buta salah satu atau kedua mata buta,” lanjut dokter yang mendapatkan pendidikan tentang penyakit glaukoma di Lions Eye Institute Perth Australia.
Perjalanan penyakit glaukoma termasuk lambat dan progresif, tergantung dari tekanan di bola mata. Misalnya, penderita glaukoma akut (mendadak) dengan tekanan terlalu tinggi dan tidak mendapatkan perawatan tepat akan risiko kebutaan makin cepat.
Sebab itu Ikke menegaskan ketika memasuki usia di atas 40 tahun dan mempunyai gejala-gejala yang terindikasi glaukoma, sebaiknya memeriksakan diri ke dokter.
Prof Diany menambahkan, meski faktor risiko usia lanjut, tidak menutup kemungkinan glaukoma juga terjadi pada usia muda, bahkan anak-anak.